Sejarah Lapangan Pasir Tanjungbalai
Dahulunya lapangan pasir itu adalah rawa-rawa yang terbentang di
depan istana Asahan . pada masa tanjungbalai dipimpin seorang walikota Patuan
Naga Nasution dilakukan pengerukan sungai Istana sampai sungai Bengkel di buang
kerawa-rawa depan komplek istana Asahan menjadi lapangan pasir. Dari kemunculan
lapangan ini banyak dimanfaatkan masyarakatsebagai daerah rekreasi baru,
masyarakat sering mengadakan bazar dan pasar malam, dan berbagai hiburan
lainnya seperti band, dan acra acara hibura lainnya.
Seiring
berjalannya waktu lapangan pasir ini di bangu lapangan bola kaki, bola volly,
dan bola takrau.disinilah setiap harinya masyarakat datang untuk berolah raga.
Kemudian pihak ahli waris kesultanan Asahan untuk menyerahkan aset
kerajaan itu kepada masyarakat Tanjungbalai melalui pemko Tanjungbalai secara
syah sekitar tahun 2002 dimasa walikota dr.Sutrisno Hadi, SpOG. Sebagai
penghormatan dan penghargaan kepada kesultanan Asahan maka lapangan ini
ditabalkan melalui sebuah perda Tanjungbalai dengan nama lapangan Sultan Abdul
Djalil Rahmadsyah.
Setelah di serahkan ahli waris kesultanan Asahan ke Pemko
Tanjungbalai barulah lapangan ini direnovasi dengan membangun alun-alun atapnya
dengan bermitifkan kerang dan dilengkapi dengan sarana kamar mandi disinilah
walikota dan jajaran pemerintah lainnya duduk untuk menyaksikan acara-acara
Nasional, serta dipasang pagar
sekeliling. Upacara hari besar Nasionalserta acara-acara besar seperti hari jadi
Tanjungbalai pada setiap tanggal 27 Desember, pameran dan festifalmaka lapangan
pasir ini menjadi pilihannya.
Biasanya setiap
sore sabtu dan minngu masyarakat Tanjungbalai sering mengunjungi tempat ini,
terutama muda mudinya. Biasanya mereka datang untuk jalan-jalan, foto-foto,
olahraga dan membeli makana, makanan yang biasanya di jual di sekitar
Tanjungbalai adalah makan tradisiona seperti jagung bakar,pisang sopit, mie
goreng, nasi goreng dan berbagai jenis
kue basah seperti kue lapis, kue jagung, kue lumpang, kue cara, lepat nagasari,
lepat ubi,lepat pulut, kue ombus-ombus dan lain lain.
Sejarah bangunan bersejarah
Bangunan bersejarah adalah tempat istana Sultan melayu, dulunya
bangunan ini terletak dekat dengan lapangan pasir tempat pusat kota sekarang
ini, dan sekarang bangunan ini di pindahkan ke ujung Tanjungbalai bekas dari
bangunan ini sekarang sudah di bangun tempat-tempat perbelanjaan dan toko-toko
swasta.
Sekarang bangunan
bersejarah ini janrang dikunjungi dan digunakan mayarakat Tanjungbalai. Cuman
acara-acara tertentu sajalah bangunan ini di pakai itupu yang memakainya hanya
dari keturunan-keturunan Sultan saja yang sering menggunakan bangunan ini untuk
acara-acara kekeluargaan mereka.
Sedangkan dari
kalangan pemerintahan tidak pernah menggunakn bangunan ini, seharusnya bangunan
ini bisa menjadi tempat wisata sejarah untuk kota Tanjungbalai dan sekarang
bangunan ini tidak terawat lagi. Sungguh menyedihkan harusnya pemerintah Kota
Tanjungbalai memperhatikan bangunann ini karena biarbagaimanapu istana ini
adalah salahh satu bangunan yang tertua yang ada di Tanjungbalai.
Sejarah vihara yang ada di Tanjungbalai
Di Tanjungbalai
ada sebuah vihara yang besar, dahulunya bangunan ini sangat di tentang oleh
penduduk Tanjungbalai, setelah bangunan ini selesai setengah jalan masyarakat
berduyun-duyun demo ingin merobohkan bangunan ini. Ternyata bangunan itu sudah
di syahkan oleh salah satu pemerintahan Tanjungbalai dan akhirnya masyarakat
kecewa dengan mendengar keputusa pemerintah yang tidak mementingkan nilai agama
yang tinggi yang ada di Tanjungbalai.
Tetapi setelah
vihara itu selesai ternyata masyarakat Tanjungbalai yang muslim yang banyak
mendatangi tempat ini, karena tempatnya indah di depan pihara ini adalah sungai
besar Asahan yang pemandangannya indah jika dilihat di sore hari sehingga
tempat ini sering didatangi para muda-mudi Tanjungbalai, biasanya mereka datang
kesini foto-foto dan olahraga, ditambah lagi banyaknya masyarat yang bedagang di pinggiran sungai tersebut
jadi tempat ini makin asyik di bikain untuk tempat bermain dan bertamasya para
muda mudi tersebut, apalagi di pinggir sungai itu ada angin sepoi-sepoi yang
yang menyejukkan tubuh.
Biasanya ditempat
ini juga sering diadakan hiburan pasar malam apalagi di hari libur tempat ini
pasti ramai dikunjungi masyarat baik masyarakat Tanjungbalai maupun mayarakat
dari luar.
Sejarah Jembatan Tabayang
Jembatan
tabayang adalah salah satu jempatan yang terpanjang di Sumatera, yang
panjangnya mencapai 1000 meter. Pada mulanya muda mudi Tanjungbalailah yang
memberi nama jembatan ini jembatan tabayang, karena setiap kali mereka kesitu
selalu atau tabayang-bayang akan sesuatu. Jembatan tabayang ini adalah
penghubung antara Kota Tanjungbalai dengan Sei Kepayang atau daerah Asahan.
jembatan ini umumnya ramai didatangi
pada sore dan malam minggu karena jembatan ini merupakan spot untuk melihat
keindahan sungai Asahan menjelang senja. Biasanya yang sering meramaikan tempat
ini adalah para muda mudi. Di tempat inilah para muda mudi Tanjungbalai sering
berjumpa dan bermain.
Karena adanya jembatan ini jadi
masyarakan Asahan menjadi mudah untuk datang ke Tanjungbalai, mereka tidak lagi
harus menggunakan sampan untuk datang kepusat perbelanjaan Tanjungbalai dan
sebaliknya dengan masyarakat Tanjungbalai menjadi lebih mudah untuk datang
merawat kebun mereka yang ada didaerah Asaha.
Sejarah
Berdirinya Masjid Raya Kota Tanjungbalai
Berdirinya
Masjid Raya ini di jantung kota Tanjung Balai yang semakin sesak oleh
petak-petak rumah toko (ruko) membuat Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah
terhimpit dan kehilangan ‘aura magis’ nya sebagai monumen pengingat sang
pendiri, Sultan Ahmadsyah dari Asahan, mesjid kerajaan sekaligus cagar
budaya. Mesjid yang kubah utamanya sudah lebih rendah dari jejeran loteng
ruko sarang walet yang ‘memagari’ kompleks semakin tenggelam pula
ketika Maghrib menjelang. Riuh rendah rekaman suara kicau burung walet
yang bising itu memenuhi udara membuat suasana di ambang petang di
lingkungan mesjid berikut kompleks makam diraja Asahan yang mulai
dibangun tahun 1883 itu tidak lagi pernah terasa hening.
Pengembangan
kota sejak tahun 1970-an telah mengubah kedudukan Mesjid Sultan Ahmadsyah dalam
tata ruang kota Tanjung Balai. Jika di masa lalu mesjid dan istana menjadi
pusat orientasi maka di masa kini mesjid tidak lebih sebagai salah satu sarana
peribadatan yang tertua di kota itu. Permukaan jalan protokol di depan mesjid
kian meninggi membuat tanah pekarangan mesjid menjadi lebih rendah. Pergeseran
paras jalan ini memaksa pengelola meninggikan paras tanah pekarangan sehingga
berakibat permukaan lantai serambi yang dahulu berlantai tegel corak dari
Maastricht kini hampir sejajar dengan pekarangan dan permukaan jalan yang
dinamai Jalan Mesjid Raya di Kelurahan Indera Sakti Kecamatan Tanjung Balai Selatan
itu sekaligus membuat mesjid itu terlihat pendek.
Sultan Asahan IX disebutkan
membangun Istana Kota Raja Indera Sakti dan mesjid pendamping istana yang
dinamai Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah. Mesjid yang didominasi warna hijau dan
kuning ini rampung dalam waktu dua tahun terhitung 1883-1885 (sic).
Tidak diketahui berapa banyak biaya yang dihabiskan Sultan Ahmadsyah untuk
membangun mesjid beserta kompleks istana Asahan ini namun perluasan dan
diversifikasi tanaman perkebunan ke daerah Selatan jadi dasar perbaikan ekonomi
Sultan Ahmadsyah dari Asahan. Diperkirakan pendapatan Sultan Asahan IX
pasca-pemulihan kekuasaannya dari konsesi tanah sudah lebih dari cukup untuk
membangun kembali ibukota Kesultanan Negeri Asahan.
Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai
dibangun permanen dengan teknik pengerjaan Eropa. Permanentasi
bangunan-bangunan untuk istana dan mesjid di Sumatera Timur menjadi penanda
penting untuk menilai jangkauan pengaruh kolonialisme dan modernisasi pada visi
para penguasa tradisional soal hubungan antara rural–urban yang
biasanya diwujudkan dalam kebijakan tata ruang. Selain itu, sumbangan seni dan
teknologi bangunan Eropa pada bangunan-bangunan di kawasan itu juga dapat
memahami politik simbol atau simbolisme, mengapa istana para raja dan mesjid di
pusat pemerintahan dibangun permanen sementara rumah-rumah para pembesar di
pedalaman dan surau di kampung-kampung Melayu bertahan dengan ciri
tradisionalnya yaitu semi permanen.
Namun terdapat perbedaan pendapat
mengenai kapan tepatnya mesjid ini dibangun meskipun masyarakat menerima apapun
kisah yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan mesjid itu. Dalam
rekonstruksi pembangunan Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah yang diterima umum,
tarikh awal pembangunan (1883) dan tahun kepulangan sang sultan dari pembuangan
di Bengkalis (1885/6) terpaut dua sampai tiga tahun. Jadi, jika tarikh di atas
digunakan sebagai landasan merekonstruksi tahun awal pembangunan mesjid itu
maka Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai ini telah atau mulai dibangun
ketika sang sultan masih berada dalam pembuangan.
Kemungkinan lain ialah, mesjid permanen
itu dibangun pada masa pemerintahan dewan menggantikan mesjid lama yang dibakar
ketika perang. Pemberian nama ‘Sultan Ahmadsyah’ pada mesjid yang dibangun itu
mungkin saja dilakukan belakangan menjelang atau sesudah sang sultan kembali.
Selain itu dalam tradisi pemberian nama pada mesjid kerajaan, sultan-sultan
Melayu yang membangunnya mendapatkan kehormatan untuk menabalkan namanya
sebagai nama mesjid. Penamaan ini menandakan bahwa mesjid bagi orang Melayu
bukan sekedar tempat ibadah tetapi memiliki fungsi sosial dan sejarah. Mesjid
pun difungsikan sebagai media commemoration atau mengingat, memetik
hikmah terutama untuk memelihara dan/atau membangkitkan sense of community.
Di luar kemungkinan yang dapat dijadikan
eksplanans itu, bangunan Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai menampilkan
ciri bangunan dari masa yang diperkirakan itu. Pilar-pilar ‘gendut’ berjumlah
banyak yang menopang serambi mirip dengan pilar Mesjid Raya Sultan Basyaruddin
di Rantau Panjang. Mesjid lama yang diperkirakan dibakar dalam Perang 1865 itu
lalu kemungkinan dibangun kembali dan dinamai dengan nama penguasa
masing-masing.
Belum ditemukan keterangan tentang
pembangunan itu namun dengan membandingkan langgam maupun bagian-bagian
dari kedua mesjid di bawah ini merupakan salah satu cara untuk mengungkap
waktu pembangunan, selain menganalisis alasan dan motivasi politik kolonial
secara langsung maupun tidak langsung. Dan seperti kebanyakan mesjid lama di
Sumatera Timur, pada kompleks Mesjid Raya Sultan Asahan Tanjung Balai terdapat
kompleks pemakaman keluarga diraja Asahan. Makam yang ditandai beragam bentuk
nisan ini dapat menjadi tolok ukur untuk menilai usia mesjid atau keberadaan
pertapakannya.